Kemudian, penulis –rahimahullah Ta‘ala– menjelaskan hakikat tobat. Adapun inti dari tobat adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sebab tobat itu mengandung makna kembali.
Maka apabila seorang hamba bertobat kepada Allah, berarti ia kembali kepada-Nya, dengan meninggalkan larangan-Nya menuju perintah-Nya, dan dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya.
Penulis –rahimahullah Ta‘ālā– telah menyebutkan penjelasan hakikat tobat, sekaligus menyertakan syarat-syaratnya. Beliau berkata, “Hakikat tobat adalah berhenti dari dosa, meninggalkannya, dan menyesali apa yang telah terjadi, serta bertekad untuk tidak kembali melakukannya.”
Perkara-perkara ini yang menjelaskan hakikat tobat, pada dasarnya adalah syarat-syarat tobat itu sendiri. Maka penulis menempatkan syarat-syarat tobat tersebut sebagai penjelas hakikatnya.
Meskipun hakikat tobat—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—adalah kembali kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Syarat-syarat tobat ada tiga menurut para ulama:
Pertama: berhenti dari dosa dan meninggalkannya.
Kedua: menyesal atas perbuatan dosa tersebut.
Ketiga: bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Yaitu tidak melakukan kembali dosa-dosa yang telah lalu.
Tiga syarat ini disebutkan secara khusus oleh para ulama karena berkaitan langsung dengan tobat itu sendiri.
Sebagian ulama menambahkan syarat keempat, yaitu: ikhlas. Syarat “ikhlas” ini berlaku pada seluruh amal. Sebab, setiap amal tidak akan diterima kecuali dilakukan dengan ikhlas. Oleh karena itu, para ulama tidak memasukkannya ke dalam syarat khusus tobat, karena ia adalah syarat yang bersifat umum untuk setiap amal.
Sebagian ulama juga menambahkan syarat kelima, yaitu: membebaskan diri dari kezaliman, yang berkaitan dengan jiwa, kehormatan, atau harta orang lain, serta meminta kehalalan (maaf) dari pihak yang dizalimi. Namun mayoritas ulama yang menyusun syarat-syarat tobat tidak menyebutkannya, karena ia sudah termasuk dalam makna meninggalkan dosa. Sebab, siapa yang tidak menyelesaikan kezaliman dan tidak meminta kehalalan dari orang yang dizalimi, berarti ia belum benar-benar berhenti dari dosa.
Telah aku sampaikan kepada kalian sebelumnya bahwa di antara kaidah ulama adalah: penyebutan secara ringkas lebih utama daripada penjabarannya. Sekiranya suatu kalimat dapat dicakupkan ke dalam kalimat lainnya, maka itu lebih baik daripada menjabarkan dan menyebutkannya masing-masing.
Jadi, syarat tobat ada tiga, sebagaimana yang disebutkan tadi. Adapun tambahan di luar itu, maka bisa jadi kembali kepada kaidah umum, seperti: ikhlas, atau tercakup dalam salah satu dari ketiga syarat itu, seperti menyelesaikan urusan kezaliman dan permohonan kehalalan darinya.
====
ثُمَّ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى حَقِيقَةَ التَّوْبَةِ وَأَصْلُ التَّوْبَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَإِنَّ التَّوْبَةَ مُتَضَمِّنٌ لِمَعْنَى الرُّجُوعِ
فَإِذَا تَابَ الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مُفَارِقًا نَهْيَهُ إِلَى أَمْرِهِ وَمَعْصِيَتَهُ إِلَى طَاعَتِهِ
وَقَدْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَا يُبَيِّنُ حَقِيقَتَهَا مُتَضَمِّنًا لِشَرَائِطِهَا فَقَالَ وَحَقِيقَةُ التَّوْبَةِ الْإِقْلَاعُ مِنَ الذُّنُوبِ وَتَرْكُهَا وَالنَّدَمُ عَلَى مَا مَضَى مِنْهَا وَالْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا إِلَى آخِرِهِ
وَهَذِهِ الْأُمُورُ الْمُبَيِّنَةُ لِلْحَقِيقَةِ إِنَّمَا هِيَ شَرَائِطُ التَّوْبَةِ فَأَنْزَلَ الشَّرَائِطَ مَنْزِلَةَ مُبَيِّنِ الْحَقِيقَةِ
وَإِنْ كَانَتْ حَقِيقَةُ التَّوْبَةِ كَمَا سَلَفَ هِيَ الرُّجُوعُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَشُرُوطُهَا ثَلَاثَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ
أَوَّلُهَا الْإِقْلَاعُ مِنَ الذَّنْبِ وَتَرْكُهُ
وَثَانِيهَا النَّدَمُ عَلَى مُوَاقَعَتِهِ
وَثَالِثُهَا الْعَزِيمَةُ عَلَى عَدَمِ الْعَودِ فِيهَا أَيْ فِي الذُّنُوبِ الَّتِي مَضَتْ
وَهَذِهِ الشُّرُوطُ الثَّلَاثَةُ خُصَّتْ بِالذِّكْرِ عِنْدَ أَهْلِ الْعلمِ لِتَعَلُّقِهَا بِالتَّوْبَةِ أَصْلاً
وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا رَابِعًا وَهُوَ الْإِخْلَاصُ وَهَذَا الشَّرْطُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ الْعَمَلَ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا فَتَرْكُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَدَّهُ لِأَنَّهُ شَرْطٌ مُضْطَرِدٌ فِي كُلِّ عَمَلٍ
وَزَادَ بَعْضُهُمْ شَرْطًا خَامِسًا وَهُوَ التَّخَلُّصُ مِنَ الْمَظَالِمِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالنُّفُوسِ أَوِ الْأَعْرَاضِ أَوِ الْأَمْوَالِ وَتَحَلُّلِ أَهْلِهَا وَأَعْرَضَ عَنْهُ جُمْهُورُ أَهْلِ الْعلمِ الْعَادِيْنَ لِشُرُوطِ التَّوْبَةِ لِانْدِرَاجِهِ فِي مَعْنَى الْإِقْلَاعِ عَنِ الذَّنْبِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَرُدَّ الْمَظَالِمَ وَلَمْ يَتَحَلَّلْ أَهْلَهَا لَمْ يَكُنْ مُقْلِعًا عَنِ الذَّنْبِ
وَسَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ لَكُمْ أَنَّ مِنْ قَوَاعِدِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الرَّدَّ أَولَى مِنَ الْمَدِّ فَإِذَا أَمْكَنَ رَدُّ الْكَلَامِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ كَانَ ذَلِكَ أَولَى مِنْ مَدِّهِ وَبَسْطِهِ
فَشُرُوطُ التَّوْبَةِ هِيَ الثَّلَاثَةُ الَّتِي ذُكِرَتْ آنِفًا وَمَا زَادَ عَنْهَا فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ رَاجِعًا إِلَى أَصْلٍ عَامٍّ كَالْإِخْلَاصِ أَوْ مُنْدَرِجًا فِي أَحَدِهَا كَمَا يُذْكَرُ مِنْ رَدِّ الْمَظَالِمِ وَالتَّحَلُّلِ مِنْهَا