Ada yang bertanya: “Apa hukum syar’i membeli ponsel untuk anak-anak dan memberikannya kepada mereka?”
Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam, dan salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul terbaik. Amma ba’du.
Apabila seseorang menghendaki pembahasan mendasar dalam masalah seperti ini, maka dapat dikatakan kepadanya: Ada tiga jenis hukum terkait hal ini.
Barang seperti ponsel ini termasuk kategori sarana (wasā’il). Hukum-hukum terkait sarana ini terbagi menjadi tiga jenis:
Jenis pertama: Sarana yang secara pasti menjerumuskan kepada kerusakan. Maka hukumnya adalah haram, dan wajib dicegah. Apabila diketahui bahwa seorang anak kecil menggunakan ponsel untuk hal-hal yang haram, dan menjadikannya sebagai sarana menuju hal-hal haram tersebut, maka ia wajib dicegah dari ponsel. Sebab, syariat telah menetapkan bahwa sarana memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuannya.
Jenis kedua: Sarana yang sangat jarang mengantarkan kepada kerusakan, dan pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan. Maka dalam kondisi ini, tidak mengapa digunakan dan diberikan. Tidak ada permasalahan sama sekali dalam hal ini.
Jenis ketiga: Sarana yang pada umumnya mengantarkan kepada kerusakan. Mayoritas remaja, atau mayoritas mereka yang seperti pemuda ini, akan terjerumus menggunakannya. Maka dalam kondisi seperti ini, perlu adanya pengecekan untuk memastikan. Karena syariat telah datang dengan prinsip menutup pintu-pintu kerusakan, dan mewajibkan seseorang untuk menghindarinya.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Dan janganlah kamu mencaci maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” (QS. Al-An’am: 108)
Ketika mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik bisa menyebabkan mereka mencaci Allah, maka dilarang mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik.
Dalam banyak teks hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat dari suatu tindakan dan ke mana urusannya akan berujung. Ketika Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan jahiliah, niscaya aku akan robohkan Ka’bah, dan pasti aku bangun kembali di atas pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim.” (HR. Ibnu Hibban, Bukhari, Muslim, An-Nasai, dibacakan Syaikh secara makna).
Nabi mempertimbangkan dampak yang akan timbul dari tindakannya itu. Demikian pula dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat datang dan berkata kepada Nabi, “Tidakkah engkau bunuh saja orang munafik yang telah mengucapkan dusta-dustanya itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.” “Agar manusia tidak berkata: ‘Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.’” Beliau mempertimbangkan akibat-akibatnya.
Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini wajib memperhatikan akibat-akibatnya.
====
هُنَا أَحَدُهُمْ يَسْأَلُ يَقُولُ مَا الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ فِي شِرَاءِ الْهَوَاتِفِ لِلصِّغَارِ وَمَنْحِهِمْ إِيَّاهَا؟
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَبَعْدُ
إِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ تَأْصِيْلَ أَمْثَالِ هَذِهِ الْمَسَائِلِ فَيُقَالُ لَهُ هُنَاكَ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ
هَذِهِ وَسَائِلُ وَأَحْكَامُ الْوَسَائِلِ نَقُولُ إِنَّهَا لَهَا ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ
النَّوْعُ الْأَوَّلُ وَسَائِلُ مُفْضِيَةٌ إِلَى الْفَسَادِ قَطْعًا فَإِنَّهُ يُفْتَى بِحُرْمَتِهَا وَبِوُجُوبِ الْمَنْعِ مِنْهَا فَإِذَا عُلِمَ أَنَّ الطِّفْلَ أَوِ الصَّغِيرَ يَسْتَعْمِلُ الْجَوَّالَ فِي الْمُحَرَّمَاتِ وَيَتَّخِذُهَا طَرِيقًا لِذَلِكَ يُمْنَعُ مِنْهُ وُجُوبًا وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِأَنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
النَّوْعُ الثَّانِي مَا كَانَ يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ نَادِرًا وَالْغَالِبُ أَلَّا يُفْضِي إِلَى الْمَفْسَدَةِ فَحِينَئِذٍ لَا حَرَجَ فِي اسْتِعْمَالِهِ وَفِي وَضْعِهِ وَلَا يَبْقَى فِيهِ أَيُّ إِشْكَالٍ
الثَّالِثُ مَا كَانَ مُفْضِيًا فِي الْغَالِبِ غَالِبُ الشَّبَابِ غَالِبُ كَذَا غَالِبُ مَنْ يَكُونُ مِنْ أَمْثَالِ هَذَا الشَّابِّ فَحِينَئِذٍ لَا بُدَّ مِنَ التَّحَقُّقِ مِنْهُ وَذَلِكَ أَنَّ الشَّرِيعَةَ قَدْ جَاءَتْ بِسَدِّ مَنَافِذِ الْفَسَادِ وَوُجُوبِ أَنْ يَتَحَرَّزَ الْإِنْسَانُ فِيهَا
وَمِنَ الْأَدِلَّةِ الْوَارِدَةِ فِي هَذَا قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
لَمَّا كَانَ سَبُّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ يُفْضِي إِلَى سَبِّ اللَّهِ تَعَالَى مُنِعَ مِنْ سَبِّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِيْنَ
وَفِي نُصُوصٍ كَثِيرَةٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَاعِي الْمَآلَاتِ وَمَا تَكُونُ وَمَا تَصِيرُ إِلَيْهِ الأُمُورُ لَمَّا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ لَهَدَمْتُ الْبَيْتَ وَلَبَنَيْتُهُ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ
رَاعَى فِي ذَلِكَ الْمَآلَاتِ وَهَكَذَا فِي قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ وَقَالَ أَلَا تَقْتُلُ يَعْنِي الْمُنَافِقَ الَّذِي تَكَلَّمَ بِمَا تَكَلَّمَ بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا لِأَنْ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ إِنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ فَرَاعَى الْمَآلَاتِ
وَلِذَلِكَ فَمِثْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ لَا بُدَّ فِيهَا مِنْ مُرَاعَاةِ الْمَآلَاتِ